Jumat, 16 Desember 2011

Hikmah (dari Allah)

Ketika itu aku masih bersekolah. Berseragam putih abu-abu. Layaknya sebagai siswa, aku dibatasi keteraturan jadwal pelajaran. Banyak pengalaman hidup ku alami masa-masa itu. Indah dan pahit jadi menu menuju cita-cita. Memang begitu lazimnya anak muda.

Sungguh saat itu aku adalah orang yang sesat, (mungkin) jauh dari petunjuk. Lingkungan menjadi alasan menentukan. Aku belum kenal dengan namanya Islam, melainkan sedikit saja. Sekarang pun masih sedikit, tapi Insya Allah sedikit lebih baik.

Hari-hari ku jalani dengan santai. Shalat lima waktu jarang ku tegakkan, pun dengan amalan yang lain. Ibadah itu ku anggap wajib bila ada masanya. Bila datang Ramadahan, ku sangat rajin berpuasa. Puasa ya puasa, tapi shalatnya tetap kukesampingkan. Kelakuan yang tak terjaga. Tak tahu sah tidaknya. Teringat, di kala aku duduk di bangku SMP, bahkan pernah (barangkali) dalam setahun aku tak mencicipi tegaknya berdiri di hadapan sang Rabb. Tak terbayangkan. Tak hanya aku yang begitu. Teman yang lain pun banyak terjerembab dalam gelap.

Suatu saat, aku mulai sadar kesesatan itu. Mulai ku perbaiki cara hidupku. Kebiasaan buruk perlahan ku haluskan. Shalat mulai ku tegakkan. Bahkan yang sunnah pun kukerjakan. Kadang aku bangun malam mohon ampunan. Ku ancangkan tahajjud menangkap cahaya dari Allah. Maklum, saat itu lagi masa-masa ujian.(astaghfirullah)

Ya, di ujung karier kesiswaanku, banyak perubahan yang terjadi. Meski ada harapan dibaliknya, namun mungkin langkah awal dari semua.

********


Hingga tibalah aku di kota. Kali ini setingkat lebih tinggi. Ya, aku jadi mahasiswa (alhamdulillah). Ditemani sang abang, aku mencari tempat tinggal (kos-kosan), namun bingung hendak ke mana untuk bertahan. Teringat, abangku punya kenalan.

”O iya, aku punya teman di sini. Lebih baik kita singgah sebentar di sana.” imbaunya memecah suasana.
”Baiklah, terserah abang saja,” sahutku.

Diarahkannya kami menuju tempat tinggalnya. Subhanallah... Dari kejauhan terlihat sebuah mesjid kecil, di tengah sawah namun di tengah kota. Ilalang tumbuh panjang-panjang setengah melingkar membetentengi tempat suci itu. Masjidnya sederhana, tapi suasananya indah dengan terpaan angin sore itu.

”Wah...sebaiknya balik kanan aja,” bisikku pelan.

Tapi, sepertinya ini sudah jalan dari Allah. Teringat doaku sebelum berangkat agar aku ditempatkan di lingkungan orang shaleh dan semoga ketularan nantinya. Dan itu masjid, nikmat Allah mana yang tak ingin kudapatkan.

Awalnya , aku tak yakin dengan tempat itu. Berasa tak pantas saja tinggal di tempat suci dengan bermacam kotoran baik jiwa maupun badan. Ah... segera ku tutup gelisah itu. Pelan-pelan kami menapaki jalan yang sedikit berpasir dan berlumpur. Jantung berdesir sedikit tak teratur. Akhirnya tiba juga.

”Assalamu’alaikum...” sapa si abang.
”Wa’alaikumsalam...” sahut dari sebelah masjid.

Memang di masjid ini tersedia ruangan khusus bagi penjaganya. Sesaat, muncul seorang pemuda yang gagah dengan janggut pendek nan lebat. Kujabat tangannya dan kukenalkan namaku, dia juga. Shiddik namanya. Lalu aku hanya diam dan dia segera berbicara dengan abang saya. Banyak perbincangan terjadi antara mereka, namun aku masih saja diam.

”Ini ya adikmu yang ingin cari kos-kosan?” tanya dia sambil menunjuki ku.
”Ya..tolong ya dia dikader dulu di sini. Nanti kalau dia setuju, carikan tempat tinggal.” pinta abangku.
”Oke...”
”Syukran akhi”

Tak lama abangku berbincang empat mata denganku. Dia bilang kalau sementara aku boleh tinggal di masjid itu dulu. Menunggu tempat yang lebih cocok. Karena masih ada urusan lain, abangku balik ke daerah asal. Lama ku tatap wajahnya karena mungkin aku tak berjumpa dengannya beberapa bulan ke depan. Tak lama, ia pamit untuk pulang kepada kami berdua. Ku titip salam kepada keluarga.

”Gimana,akh?” tanya pemuda.
(Sebenarnya aku masih bertanya-tanya apa itu ’akh’, ternyata artinya saudara)
”Maklum ya dengan kondisi masjid yang begini,” sambarnya.
”Ga apa-apa pak. Syukur bisa numpang.” balasku seraya senyum tipis.
”Alhamdulillah. Jangan panggil aku bapak. Masih muda dan ganteng gini...panggil abang aja.” candanya.
”Iya bang, makasih banyak mau kasi tumpangan sekalian nyari kos-kosan,” kataku.

Kami terus berbincang, banyak cerita pengalaman dia selama tinggal di sana. Tak terasa,shalat magrib dan ’isya’ telah kami tunaikan. Aku kagum dengan pemuda itu, dia jadi imam shalat dan baca ayat Al Quran yang jarang ku dengar, panjang lagi. Sepertinya dia banyak hafalan, masih muda lagi. Aku bertanya-tanya, aku heran lihat orang macam dia. Wajar saja karena dulu di tempatku, seumur dia itu paling kerjanya mabuk-mabukan, atau apalah yang jauh dari ibadah. Satu motivasi yang ku dapat dari beliau, ku ingin juga menjadi seorang hafizh Qur’an.

********


Selama beberapa hari aku menimba ilmu darinya, termasuk moral juga. Dia dengan ikhlas menjadi abang sekaligus shahabat bagi saya.

”Nah..beberapa hari ini mungkin kamu sudah memiliki mentallah untuk hidup di kota ini. Udah kenal jalan, teman, yang penting udah tau pulang.” katanya.
”Iya bang, makasih sekali lagi,” sambutku.
”Apa kriteria tempat kosmu nanti?” tanyanya.
”Yang penting dekat masjid sama di lingkungan orang shaleh bang,” secara spontan ku menjawab.
”Oke,besok kau ku antar. Aku punya teman yang mungkin mau terima kehadiranmu, dek.” jelasnya dengan nada yang ramah.

Besoknya kami berangkat menuju suatu tempat yang tak jauh dari masjid. Kami berjalan kaki menyusuri gang yang lumayan sempit. Pagi itu, langit cerah. Biru-biru muda terbentang luas di langit. Diselimuti gempulan awan kecil-kecil. Ku tatap dan ku hela nafas menyeimbangkan irama alam yang tenang. Pohon hijau disekitar menghiasi langkah yang teguh ini. Begitu kunikmati hingga kami telah sampai ke tujuan.

Rupanya tempat itu sudah berpenghuni. Diisi oleh orang-orang yang kelihatannya ’alim dan ramah. Semuanya mahasiswa. Mereka kumpulan aktivis dakwah kampus. Segan hati menyapa, karena masih asing terasa. Tak lama setelah ngobrol-ngobrol, aku langsung setuju saja tinggal di sana.

”Di sini haram hukumnya merokok dan pacaran”. Itulah kata-kata pertama ketuanya yang paling ku ingat. Sungguh sangat bertolak belakang dengan tujuanku. Aku sudah bertekad untuk mendapatkan seorang kekasih bila ku telah berkuliah nanti. Maklum selama ini ku terjaga dari hal itu. Ah, mau ga mau aku harus mau. Ku ikuti semuanya. Satu target lewat lah. Masih bingung sebenarnya kenapa bisa haram waktu itu. Taapi, dengan itu hamba terselamatkan lagi dalam perkara fitnah wanita (insya Allah). Sungguh besar perlindungan Allah.

Saat tiba waktu makan, aku lebih bingung lagi. Nasi dan lauk dicampur dalam satu tampah untuk sekitar lima orang. Sunnah rasul katanya. (subhanallah). Dengan malu-malu ku cicil butiran nasi itu ke mulut dan ku telan. Lama-lama jadi biasa juga, dan memang dengan makan bersama ukhuwah bisa terjalin.

Selama di sana banyak pelajaran baru yang ku terima. Kami dibiasakan shalat lima waktu di masjid, semua orang mengaji setiap selesai shalat dan kalau ada waktu renggang juga. Tak heran, karena di depan aku membaca tulisan ”sudahkah setengah juz hari ini?” . Tulisan sederhana pembangkit iman. Bahkan lebih dari itu bisa dicapai perharinya.

Sebenarnya banyak lagi hal-hal bernilai ibadah. Mulai dari yang wajib dan yang sunnah. Namun bibir tak sanggup menguraikannya. Mereka punya jiwa persaudaraan yang kuat. Memang Islamlah yang paling kuat persaudaraannya.

Lama aku jalani proses hingga akupun dapat mengerti sedikit pengetahuan tentang Islam. Aku mulai mengerti bahwa Islam bukanlah sekedar mengerjakan shalat atau berpuasa. Islam bukanlah golongan yang mengharamkan babi saja. Islam itu luas, dan seluas itu pula amal mencakupinya. Dengan dasar Al-Qur’an dan As-Sunnah, kehidupan kita telah diatur dengan aturan yang mahasempurna.

Aku menyadari semua itu berkat petunjuk dari Allah. Jika Allah menghendaki kesesatan, maka tiada satupun yang mampu menghalanginya. Dan bila Allah memberi petunjuk, maka tak ada satupun yang mampu menyesatkannya. Semua ada hikmah dalam perjalanan hidup. Tinggal bersabar menunggu apa hikmah terbaik yang ditimbulkan. Dan kita akan tersenyum melihat hasilnya. Allah telah mengatur semuanya. Allah memberikan apa yang dibutuhkan hambaNya, bahkan yang tidak diminta sekalipun.

Banyak yang berubah antara aku yang dulu dan sekarang. Insya Allah di jalan yang diridhai Allah. Setelah semuanya kulalui, aku menyadari akan adanya hikmah dari Allah tuhan semesta alam.


Lomba Cerpen IMMA FEST
STAN, 16 Desember 2010

2 komentar:

Unknown mengatakan...

alangkah bagusnya kalo cerpen itu mempunyai klimaks :p

Saiful Ragatna Berutu mengatakan...

wah.. ku pikir itu (bagian akhir) udah klimaksnya.. :)

Syukron saran e..hehe